PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejak
manusia pertama kali menempati bumi, lahan sudah menjadi salah satu unsur utama
dalam menunjang kelangsungan kehidupan. Konkritnya, lahan difungsikan sebagai
tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensi. Aktivitas yang
pertama kali dilakukan adalah pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam
(pertanian).
Seiring
pertumbuhan populasi dan perkembangan peradaban manusia, penguasaan dan
penggunaan lahan mulai terusik. Keterusikan ini akhirnya menimbulkan
kompleksitas permasalahan akibat pertambahan jumlah penduduk, penemuan dan
pemanfaatan teknologi, serta dinamika pembangunan. Lahan yang semula berfungsi
sebagai media bercocok tanam (pertanian), berangsur-angsur berubah menjadi
multifungsi pemanfaatan.
Perubahan
spesifik dari penggunaan untuk pertanian ke pemanfaatan bagi nonpertanian yang
kemudian dikenal dengan istilah alih fungsi (konversi) lahan, kian waktu kian
meningkat. Khusus untuk Indonesia,
fenomena ini tentunya dapat mendatangkan permasalahan yang serius di kemudian
hari, jika tidak diantisipasi secara serius dari sekarang. Implikasinya, alih
fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan
pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial.
Sebetulnya
sejumlah perundang-undangan telah dibuat dan berbagai peraturan sudah
diciptakan, namun semuanya seakan-akan mandul dalam pengendalian alih fungsi
lahan pertanian. Dengan kata lain, efektifitas implementasi instrumen
pengendalian alih fungsi tersebut belum berjalan optimal sesuai dengan yang
diharapkan. Oleh karena itu, perlu diwujudkan suatu strategi pengendalian
alternatif, yaitu yang bertumpu pada partisipasi masyarakat.
PERMASALAHAN
Seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian,
kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian cenderung terus meningkat.
Kecenderungan tersebut menyebabkan alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari.
Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka
dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara
progresif. Menurut Irawan (2005), hal tersebut disebabkan oleh dua faktor. Pertama,
sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi alih
fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif
untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong meningkatnya
permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di
sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat
merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan. Wibowo (1996)
menambahkan bahwa pelaku pembelian tanah biasanya bukan penduduk setempat,
sehingga mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan guntai yang secara umum rentan
terhadap proses alih fungsi lahan.
Secara
empiris lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah.
Hal tersebut disebabkan oleh : (1) kepadatan penduduk di pedesaan yang
mempunyai agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi
dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan
juga lebih tinggi; (2) daerah pesawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan
daerah perkotaan; (3) akibat pola pembangunan di masa sebelumnya, infrastruktur
wilayah pesawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering; dan
(4) pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan
sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar, dimana
pada wilayah dengan topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa) ekosistem
pertaniannya dominan areal persawahan.
Maraknya
fenomena alih fungsi lahan pertanian sudah seharusnya jadi perhatian semua
pihak. Sebagai ilustrasi, data terakhir dari Direktorat Jenderal Pengelolaan
Lahan dan Air, Departemen Pertanian (Dirjen PLA, 2005) menunjukkan bahwa
sekitar 187.720 hektar sawah beralih fungsi ke penggunaan lain setiap tahunnya,
terutama di Pulau Jawa. Lebih mengkhawatirkan lagi, data dari Direktorat
Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional (Winoto, 2005) menggambarkan bahwa
jika arahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada pada saat ini tidak
ditinjau kembali, maka dari total lahan sawah beririgasi (7,3 juta hektar),
hanya sekitar 4,2 juta hektar (57,6%) yang dapat dipertahankan fungsinya.
Sisanya, yakni sekitar 3,01 juta hektar (42,4%) terancam beralih fungsi ke
penggunaan lain.
Sebetulnya
berbagai kebijakan yang berkaitan dengan masalah pengendalian alih fungsi lahan
sawah sudah banyak dibuat. Paling tidak ada 10 peraturan/perundang-undangan
yang berkaitan dengan pengendalian alih fungsi lahan sawah ini (Tabel Lampiran
1). Akan tetapi, hingga kini implementasinya belum berhasil diwujudkan secara
optimal. Hal ini antara lain karena kurangnya dukungan data dan minimnya sikap
proaktif yang memadai ke arah pengendalian alih fungsi lahan sawah tersebut.
Terkait dengan itu, Nasoetion (2003) mengemukakan bahwa setidaknya terdapat
tiga kendala mendasar yang menjadi alasan mengapa peraturan pengendalian alih
fungsi lahan sulit terlaksana, yaitu :
1. Kendala Koordinasi Kebijakan.
Di satu sisi pemerintah berupaya melarang terjadinya alih fungsi lahan, tetapi
di sisi lain justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan tersebut melalui
kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor nonpertanian lainnya yang
dalam kenyataannya menggunakan tanah pertanian.
2. Kendala Pelaksanaan Kebijakan.
Peraturan-peraturan pengendaliah alih fungsi lahan baru menyebutkan ketentuan
yang dikenakan terhadap perusahaan-perusahaan atau badan hukum yang akan
menggunakan lahan dan atau akan merubah lahan pertanian ke nonpertanian. Oleh
karena itu, perubahan penggunaan lahan sawah ke nonpertanian yang dilakukan
secara individual/perorangan belum tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut,
dimana perubahan lahan yang dilakukan secara individual diperkirakan sangat
luas.
3. Kendala Konsistensi
Perencanaan. RTRW yang kemudian dilanjutkan dengan mekanisme pemberian izin
lokasi, merupakan instrumen utama dalam pengendalian untuk mencegah terjadinya
alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis. Namun dalam kenyataannya, banyak
RTRW yang justru merencanakan untuk mengalih fungsikan lahan sawah beririgasi
teknis menjadi nonpertanian.
Sehubungan
dengan tiga kendala di atas, tidak efektifnya peraturan yang telah ada, juga
dipengaruhi oleh : (1) lemahnya sistem administrasi tanah; (2) kurang kuatnya
koordinasi antar lembaga terkait; dan (3) belum memasyarakatnya mekanisme
implementasi tata ruang wilayah. Di samping itu, persepsi pemerintah tentang
kerugian akibat alih fungsi lahan sawah cenderung bias ke bawah (under
estimate), sehingga dampak negatif alih fungsi lahan sawah tersebut kurang
dianggap sebagai persoalan yang perlu ditangani secara serius dan konsisten.
Selanjutnya,
senada dengan Nasoetion (2003), Simatupang dan Irawan (2002) menyimpulkan bahwa
dari beberapa peraturan perundang-undangan alih fungsi lahan pertanian yang ada
memiliki berbagai kelemahan. Kelemahankelemahan tersebut antara lain :
1. Obyek lahan pertanian yang
dilindungi dari proses alih fungsi ditetapkan berdasarkan kondisi fisik lahan,
padahal kondisi fisik lahan tersebut relative mudah direkayasa, sehingga alih
fungsi lahan dapat berlangsung tanpa melanggar peraturan yang berlaku.
2. Peraturan yang ada cenderung
bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, baik yang menyangkut
dimensi maupun pihak yang dikenai sanksi.
3. Jika terjadi alih fungsi lahan
pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka sulit ditelusuri
pihak mana yang paling bertanggungjawab, mengingat izin alih fungsi lahan
merupakan keputusan kolektif berbagai instansi.
4. Peraturan perundangan-undangan
yang berlaku kadangkala bersifat paradoksal dan dualistik. Di satu sisi
bermaksud untuk melindungi alih fungsi lahan sawah, namun di sisi lainnya
pemerintah cenderung mendorong pertumbuhan industri yang notabene basisnya
membutuhkan lahan. Di wilayah yang lahan keringnya terbatas, seperti pantai
utara Jawa, kebijakan tersebut jelas akan menekan eksistensi lahan sawah yang
ada.
Selain
beberapa hal dikemukakan di atas, terdapat dua faktor strategis lainnya yang
selama ini tertinggalkan. Pertama, belum banyak dilibatkannya petani
sebagai pemilik lahan dan pelaku dalam kelembagaan lokal secara aktif dalam berbagai
upaya pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Kedua, belum
terbangunnya komitmen, perbaikan sistem koordinasi, dan pengembangan kompetensi
lembaga-lembaga formal dalam menangani alih fungsi lahan pertanian. Akhirnya,
kondisi tersebut menyebabkan instrumen kebijakan pengendalian alih fungsi lahan
pertanian yang selama ini telah disusun, tidak dapat menyentuh secara langsung
simpul-simpul kritis permasalahan empiris yang terjadi di lapangan.
Hal
tersebut diperkuat juga diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukuan oleh
R.D. Maman Suherman (2004) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang
meliputi Kulonprogo, Bantul, Sleman, Gunungkidul dan Kota Yogyakarta. (1) Luas
lahan sawah cenderung menurun dan dalam kurun waktu 20 tahun terjadi penyusutan
luas lahan sawah sebesar 4.896 hektar dengan tingkat pertumbuhan rata-rata -
0,39 % per tahun. Sedangkan luas lahan tegal cenderung mengalami kanaikan
sebesar 9.536 hektar, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 0,91 % per
tahun. (2) Pertumbuhan luas panen padi sawah turun 0,08 %, produktivitas naik
0,65 % sehingga produksi padi naik 0,06 % per tahun.(3) Pertumbuhan luas panen
jagung naik 31,11 %, produktivitas naik 11,47 % sehingga produksi jagung naik
39,52 % per tahun (4). Pertumbuhan luas panen kedelai naik 9,24 %,
produktivitas naik 5,67 % sehingga produksi naik 15,91 % per tahun. (5)
Pertumbuhan jumlah penduduk naik 0,86 % dan kepadatan penduduk naik 0,72 % per
tahun. Jumlah penduduk berpengaruh terhadap penurunan luas lahan sawah di Bantul
dan Gunungkidul sedangkan kepadatan penduduk berpengaruh terhadap penurunan
luas lahan tegal di Kulonprogo. (6) Pada tahun 2007 diperkirakan lahan sawah di
Propinsi DIY tinggal 56.927 hektar dengan produksi beras 351.380 ton, sehingga
tidak akan mampu lagi untuk mencukupi kebutuhan beras bagi penduduk sejumlah
3.520.093 jiwa pada tahun 2007.
SOLUSI PERMASALAHAN
Peraturan Kebijakan
Penyebab
terjadinya alih fungsi lahan pertanian boleh dikatakan bersifat multidimensi.
Oleh karena itu, upaya pengendaliannya tidak mungkin hanya dilakukan melalui
satu pendekatan saja. Mengingat nilai keberadaan lahan pertanian bersifat
multifungsi, maka keputusan untuk melakukan pengendaliannya harus
memperhitungkan berbagai aspek yang melekat pada eksistensi lahan itu sendiri.
Hal tersebut mengingat lahan yang ada mempunyai nilai yang berbeda, baik
ditinjau dari segi jasa (service) yang dihasilkan maupun beragam fungsi
yang melekat di dalamnya.
Sehubungan
dengan isu di atas, Pearce and Turner (1990) merekomendasikan tiga pendekatan
secara bersamaan dalam kasus pengendalian alih fungsi lahan sawah (wetland),
yaitu melalui : (1) regulation; (2) acquisition and management;
dan (3) incentive and charge. Uraian singkat dari ketiga pendekatan
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Regulation. Melalui
pendekatan ini pengambil kebijakan perlu menetapkan sejumlah aturan dalam
pemanfaatan lahan yang ada. Berdasarkan berbagai pertimbangan teknis, ekonomis,
dan sosial, pengambil kebijakan bias melakukan pewilayahan (zoning)
terhadap lahan yang ada serta kemungkinan bagi proses alih fungsi. Selain itu,
perlu mekanisme perizinan yang jelas dan transparan dengan melibatkan semua
pemangku kepentingan yang ada dalam proses alih fungsi lahan. Dalam tatanan
praktisnya, pola ini telah diterapkan pemerintah melalui penetapan Rencana Tata
Ruang Wilayah dan pembentukan Tim Sembilan di tingkat kabupaten dalam proses
alih fungsi lahan. Sayangnya, pelaksanaan di lapang belum sepenuhnya konsisten
menerapkan aturan yang ada.
2. Acquisition and Management.
Melalui pendekatan ini pihak terkait perlu menyempurnakan sistem dan aturan
jual beli lahan serta penyempurnaan pola penguasaan lahan (land tenure
system) yang ada guna mendukung upaya ke arah mempertahankan keberadaan
lahan pertanian.
3. Incentive and Charges.
Pemberian subsidi kepada para petani yang dapat meningkatkan kualitas lahan
yang mereka miliki, serta penerapan pajak yang menarik bagi yang mempertahankan
keberadaan lahan pertanian, merupakan bentuk pendekatan lain yang disarankan
dalam upaya pencegahan alih fungsi lahan pertanian. Selain itu, pengembangan
prasarana yang ada lebih diarahkan untuk mendukung pengembangan kegiatan
budidaya pertanian berikut usaha ikutannya.
Mengingat
selama ini penerapan perundang-undangan dan peraturan pengendalian alih fungsi
lahan kurang berjalan efektif serta berpijak pada acuan pendekatan pengendalian
sebagaimana dikemukakan di atas, maka perlu diwujudkan suatu kebijakan
alternatif. Kebijakan alternatif tersebut diharapkan mampu memecahkan kebuntuan
pengendalian alih fungsi lahan sebelumnya. Adapun komponennya antara lain
instrumen hukum dan ekonomi, zonasi, dan inisiatif masyarakat. Instrumen hukum
meliputi penerapan perundang-undangan dan peraturan yang mengatur mekanisme
alih fungsi lahan. Sementara itu, instrumen ekonomi mencakup insentif,
disinsentif, dan kompensasi. Kebijakan pemberian insentif diberikan kepada
pihak-pihak yang mempertahankan lahan dari alih fungsi. Pola pemberian insentif
ini antara lain dalam bentuk keringanan pajak bumi dan bangunan (PBB) serta kemudahan
sarana produksi pertanian (Isa, 2006).
Sebaliknya,
disinsentif diberikan kepada pihak-pihak yang melakukan alih fungsi lahan yang
implementasinya berlawanan dengan perundang-undangan dan peraturan yang
berlaku. Sementara itu, kompensasi ditujukan untuk pihak-pihak yang dirugikan
akibat alih fungsi lahan untuk kegiatan pembangunan, atau yang mencegah
terjadinya alih fungsi demi kelestarian lahan sebagai sumber produksi pertanian
(pangan). Dengan kata lain, penerapan instrumen-instrumen tersebut berkaitan
dengan pemberian penghargaan dan sangsi pelanggaran (reward and punishment).
Kebijakan
zonasi berhubungan dengan ketatalaksanaan tata ruang wilayah melalui
pengelompokan (cluster) lahan menjadi tiga kategori zona pengendalian,
yaitu lahan yang dilindungi (tidak boleh dialihfungsikan), alih fungsi
terbatas, dan boleh dialihfungsikan. Zonasi diatur berdasarkan kriteria
klasifikasi irigasi, intensitas tanam, dan produktivitas lahan sawah. Kriteria
irigasi dibedakan atas lahan sawah beririgasi dan nonirigasi. Kriteria
intensitas tanam adalah satu hingga dua kali tanam per tahun, sedangkan
kriteria produktivitas yaitu di bawah 4,5 ton/ha/panen (BPN Sulsel, 2006).
Lengkapnya informasi ini dapat diperhatikan pada Tabel Lampiran 2 dan 3.
Partisipasi Mayarakat
Dari
beberapa hasil penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dapat
diungkapkan bahwa salah satu fenomena alih fungsi lahan hal yang patut
diwaspadai adalah yang sifatnya sporadis dan berdimensi individu untuk berbagai
keperluan seperti perumahan dan fasilitas lainnya (Sumaryanto et al.,
2002). Pola alih fungsi lahan semacam ini sulit dikontrol, sehingga pendekatan
yang dianggap paling tepat untuk menanganinya adalah dengan melibatkan
masyarakat melalui inisiatif dan aksi kolektif (Bappenas dan PSE-KP, 2006).
Pelibatan
masyarakat seharusnya tidak hanya terpaut pada fenomena di atas, namun mencakup
segenap lapisan pemangku kepentingan. Strategi pengendalian alih fungsi lahan
pertanian yang patut dijadikan pertimbangan adalah yang bertumpu pada masyarakat
(community-based management plan). Artinya, masyarakat adalah tumpuan
dalam bentuk partisipasi dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian.
Pemangku
kepentingan (stakeholder) dapat didefinisikan sebagai individu,
masyarakat, atau organisasi yang secara potensial dipengaruhi oleh suatu
kegiatan atau kebijakan (Race and Millar, 2006). Dengan kata lain, pemangku
kepentingan mencakup pihak-pihak yang terlibat secara langsung atau tidak
langsung dan memperoleh manfaat atau sebaliknya dari suatu proses pengambilan
keputusan.
Secara
garis besar, para pemangku kepentingan tersebut dapat diklasifikasikan atas dua
kategori (Crosby, 1992), yaitu :
1. Pemangku kepentingan utama (primary
stakeholders), yakni kelompok sosial masyarakat yang terkena dampak baik
secara positif (penerima manfaat/beneficiaries) maupun negatif (di luar
kesukarelaan) dari suatu kegiatan.
2. Pemangku kepentingan penunjang (secondary
stakeholders), yaitu berperan sebagai pihak perantara (intermediaries)
dalam proses penyampaian kegiatan. Pemangku kepentingan ini dapat dibedakan
atas penyandang dana, pelaksana kegiatan, organisasi pengawas dan advokasi,
atau secara gamblang antara lain terdiri dari pemerintah, lembaga sosial
masyarakat (LSM), pihak swasta, politisi, dan tokoh masyarakat. Sekaligus,
pemangku kepentingan penunjang ini juga berperan sebagai pemangku kepentingan
kunci (key stakeholders) yang secara signifikan berpengaruh atau
memiliki posisi penting atas keberlangsungan kegiatan.
Dalam
konteks alih fungsi lahan, seirama dengan definisi di atas, pemangku
kepentingan mencakup empat pilar eksistensi sosial kemasyarakatan, yaitu
pemerintah dengan jajaran instansinya, masyarakat dengan lapisan sosialnya,
sektor swasta dengan korporasi usahanya, dan LSM dengan kelompok institusinya.
Keempat pilar tersebut harus memiliki unsur kesamaan persepsi, jalinan
komitmen, keputusan kolektif, dan sinergi aktivitas. Tanpa eksistensi keempat
pilar di atas, sulit rasanya untuk memuluskan (enforcement)
pengimplementasian peraturan-peraturan yang notabene selama ini muatannya sudah
cukup komprehensif dalam pengendalian alih fungsi lahan. Akan tetapi,
identifikasi pemangku kepentingan harus dilakukan terlebih dahulu, yakni
menyangkut dengan keberadaan, keterlibatan, peran, dan imbas pengaruhnya. Metode
(tool) untuk mengetahui dan mengidentifikasi partisipasi masyarakat
dalam konteks alih fungsi lahan pertanian ini adalah pemahaman terhadap
eksistensi pemangku kepentingan (stakeholder analysis).
Analisis
pemangku kepentingan penting dalam pengidentifikasian komunitas atau kelompok
masyarakat yang paling terpengaruh dari suatu kegiatan pembangunan (Race and
Millar, 2006). Analisis ini juga bermanfaat dalam menentukan prioritas mengenai
komunitas atau kelompok masyarakat yang dibutuhkan dalam implementasi kegiatan
dan sampai sejauh mana kegiatan tersebut bermanfaat buat mereka.
Perlu
dikemukakan bahwa dampak dari suatu kegiatan dapat memberikan manfaat bagi
sebagian masyarakat, namun sebaliknya bagi sebagian masyarakat lainnya. Oleh
karena itu, dalam analisis pemangku kepentingan biasanya berhubungan dengan
elemen-elemen kegiatan, seperti bagaimana eksistensi kelompok masyarakat, apa
dampaknya dan dengan cara bagaimana konsekuensi negatif dapat diminimalisasi.
Secara
garis besar, dalam analisis pemangku kepentingan perlu diakomodasikan beberapa
komponen, yaitu : (1) komunitas atau kelompok masyarakat yang berhubungan
dengan kepentingan suatu kegiatan; (2) isu utama berdasarkan pengalaman
masyarakat; (3) dampak positif dan negative kegiatan terhadap mata pencaharian
masyarakat; (4) strategi untuk mengurangi atau menghindari dampak negatif
kegiatan; dan (5) implementasi program aksi.
Analisis
pemangku kepentingan dapat dilakukan dalam skala makro, namun tentunya akan
lebih efektif bila dilaksanakan dalam skala mikro untuk kemudahan pengawasan.
Oleh karena itu, implementasi strategi pengendalian alih fungsi lahan idealnya
diawali dengan proyek rintisan (pilot project). Sejalan dengan nuansa
desentralisasi dan era otonomi, pemerintahan daerah seharusnya berinisiatif
dalam hal ini, sedangkan pemerintahan pusat lebih kepada peran konsultatif dan
koordinatif serta sekaligus melakukan replikasi secara nasional.
Dua kata
kunci dalam analisis ini adalah kepentingan (interest) dan pengaruh (influence)
dari dua klasifikasi pemangku kepentingan sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya. Meskipun kepentingan merupakan hal yang cukup sulit untuk
didefinisikan, namun esensinya dapat diperoleh melalui analisis sosial (untuk
pemangku kepentingan utama) dan dokumen kelembagaan (untuk pemangku kepentingan
penunjang). Secara ringkas, kepentingan yang dimaksud diantaranya terkait
dengan ekspetasi, manfaat, sumberdaya, komitmen, potensi konflik, dan jalinan
hubungan (network).
Selanjutnya,
pengaruh berkaitan dengan kekuasaan (power) terhadap kegiatan, termasuk
di dalamnya pengawasan terhadap keputusan yang telah dibuat dan memfasilitasi
pelaksanaan kegiatan sekaligus menangani dampak negatifnya. Penilaian terhadap
aspek pengaruh relatif sulit dilakukan dan perlu interpretasi khusus untuk
mendalaminya. Akan tetapi, ada beberapa faktor yang dapat dijadikan acuan dalam
menilai pengaruh tersebut
Tabel 1.
Faktor-faktor Pengaruh Keberadaan Pemangku Kepentingan
Pemangku Kepentingan Utama
(primary stakeholders)
|
Pemangku Kepentingan Penunjang
(secondary stakeholders)
|
1. Status sosial ekonomi
2. Organisasi, konsensus, dan
Kepemimpinan
3. Pengawasan terhadap sumberdaya
Strategis
4. Pengaruh informal terhadap sesama
pemangku kepentingan
5. Tingkat ketergantungan antar pemangku
kepentingan
|
Anggaran dan pengawasan
Kekuasaan dan kepemimpinan
Pengawasan terhadap sumberdaya strategis
Keberadaan tenaga-tenaga spesialis
Kemampuan negosiasi
|
Sumber : Crosby,
1992
Kendati
selama ini ada beberapa proyek rintisan yang relatif kurang berkontribusi
secara signifikan dalam keberlanjutan kegiatannya, proyek rintisan yang
berlandaskan partisipatif seyogyanya tidak demikian. Dalam kerangka proyek
rintisan partisipatif, analisis pemangku kepentingan dilaksanakan
dengandiiringi proses iteratif serta pengawasan dan penilaian (monitoring dan
evaluasi). Institusi yang berperan utama (key stakeholder) dalam
kegiatan tersebut diharapkan dari Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda),
karena selama ini instansi yang bersangkutan sudah banyak berperan dalam
mengkoordinasikan formulasi RTRW dan Peraturan Daerah (Perda). Perlu
dipertimbangkan pula pendirian suatu wadah untuk para pemangku kepentingan (stakeholder’s
forum). Secara skematis, ketatalaksanaan pengendalian alih fungsi lahan
berbasis proyek rintisan yang bertumpu pada partisipasi masyarakat.
Paling
tidak ada tiga tipologi partisipasi masyarakat yang dianggap sesuai dengan
strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian, yaitu partisipasi
konsultatif, interaktif, dan fungsional (Pretty, 1995). Partisipasi konsultatif
adalah dalam bentuk konsultasi dengan pihak luar (external agent),
dimana masalah dan solusinya didefinisikan oleh pihak luar terkait. Partisipasi
interaktif yaitu dalam kerangka analisis kolektif yang ditujukan untuk
perumusan program aksi. Sementara itu, partisipasi fungsional yakni partisipasi
dengan membentuk kelompok guna mencapai tujuan kegiatan. Implementasinya, peran
sentral tipologi partisipasi tersebut masing-masing adalah Bappeda (partisipasi
konsultatif), proyek rintisan (partisipasi interaktif), dan forum pemangku
kepentingan (partisipasi fungsional).
KESIMPULAN
Secara
empiris lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah.
Hal tersebut disebabkan oleh : (1) kepadatan penduduk di pedesaan yang
mempunyai agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi
dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan
juga lebih tinggi; (2) daerah pesawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan
daerah perkotaan; (3) akibat pola pembangunan di masa sebelumnya, infrastruktur
wilayah pesawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering; dan
(4) pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan
sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar, dimana pada
wilayah dengan topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa) ekosistem
pertaniannya dominan areal persawahan.
Di Pulau
Jawa data dari Direktorat Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional (Winoto,
2005) menggambarkan bahwa jika arahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang
ada pada saat ini tidak ditinjau kembali, maka dari total lahan sawah
beririgasi (7,3 juta hektar), hanya sekitar 4,2 juta hektar (57,6%) yang dapat
dipertahankan fungsinya. Sisanya, yakni sekitar 3,01 juta hektar (42,4%)
terancam beralih fungsi ke penggunaan lain.
Pearce
and Turner (1990) merekomendasikan tiga pendekatan secara bersamaan dalam kasus
pengendalian alih fungsi lahan sawah (wetland), yaitu melalui : (1) regulation;
(2) acquisition and management; dan (3) incentive and charge. Secara
garis besar, dalam analisis pemangku kepentingan dalam masyarakat perlu
diakomodasikan beberapa komponen, yaitu : (1) komunitas atau kelompok
masyarakat yang berhubungan dengan kepentingan suatu kegiatan; (2) isu utama
berdasarkan pengalaman masyarakat; (3) dampak positif dan negative kegiatan
terhadap mata pencaharian masyarakat; (4) strategi untuk mengurangi atau
menghindari dampak negatif kegiatan; dan (5) implementasi program aksi.